Sabtu, 26 April 2014

SABOTAGE : KESERAKAHAN TIM ELITE DEA DIPIMPIN SCHWARZENEGGER











Sabotage sebenarnya merupakan salah satu film yang tampil dengan cara klasik, mencoba bermain-main dengan misteri sepanjang cerita untuk kemudian memberikan jawaban di bagian akhir. Hal tersulit dari film dengan tipe seperti adalah selain bagaimana cara ia membangun jalan menuju akhir namun juga harus mampu menjadikan petualangan tersebut tampak menarik, yang sayangnya gagal hadir disini.

Dibalik kenangan masa lalu yang masih penuh misteri dan terus menghantuinya, John Wharthon (Arnold Schwarzenegger), atau yang lebih dikenal dengan Breacher, masih merupakan salah satu figure polisi yang tangguh. Ia merupakan pemimpin dari salah satu elite team DEA agents yang beranggotakan istrinya sendiri Lizzy (Mireille Enos),  sang ipar  James "Monster" Murray(Sam Worthington), lalu anggotanya yang lain Joe "Grinder" Philips(Joe Manganiello), Julius "Sugar" Edmonds(Terrence Howard), Eddie "Neck" Jordan(Josh Holloway), Bryce "Tripod" McNeely (Kevin Vance),  "Smoke" Jennings (Mark Schlegel)  dan Tom "Pyro" Roberts(Max Martini). Suatu ketika masalah misterius baru menghampiri Breacher.

Dalam sebuah penyergapan terhadap gudang kartel, Breacher cs diam-diam mendapat uang jutaan dollar. Sejak awal Breacher dan rekan-rekannya telah menyusun sebuah misi terselubung dibalik misi utama mereka untuk menyelamatkan uang sebesar $ 10 juta dollar. Untuk menutupi jejaknya, mereka sembunyikan uang itu untuk kemudian diambil setelah suasana tenang. Celakanya ketika mereka hendak menikmati hasil yang telah mereka capai, uang tersebut justru hilang dengan misterius. Kematian Pyro membuat mereka percaya ada pihak lain yang telah melakukan sabotase untuk mempermainkan mereka. Situasi tambah runyam  saat investigator bernama Caroline Brentwood (Olivia Williams)  dan Darius Jackson (Harold Perrineau) ditugaskan menyelidiki tim Breacher.

Tentu saja fokus utama yang dijual oleh film ini adalah sosok frontman mereka, Arnold Schwarzenegger, dan jujur saja ekpektasi itu sedikit tinggi terlebih jika menilik dua film terakhir Arnie yang cukup memuaskan, The Last Stand, dan Escape Plan. Tapi disamping itu yang justru menjadikan Sabotage terasa potensial adalah kehadiran sosok David Ayer di bangku sutradara dan juga menulis cerita bersama Skip Woods. Yap, kita punya Terminator yang dikendalikan oleh orang yang berhasil menciptakan kemasan sederhana seperti End of Watch menjadi film action crime yang menyenangkan. Sayangnya sisi terang tersebut hanya eksis tepat setelah film ini mungkin telah berjalan sekitar 10-15 menit.

Sabotage adalah kisah klise yang dibangun dengan cara mudah. Disini kita kembali dapat menemukan cara David Ayer bermain dengan tingkat penceritaan yang ringan namun disisi lain tetap mampu mempertahankan misteri yang menjadi pusat dan membuat penonton ikut menebak-nebak, tapi hal-hal lain yang eksis disekitar pusat itu yang terasa menjengkelkan. Ya, cacat, campur aduk hanya sebatas berupaya agar dapat tampil gagah dan keren, dan itu gagal. Aksi kekerasan dan brutal yang cukup pas, dibalut bersama teknik pencarian layaknya cerita detektif, ingin membuat penontonnya kagum dengan eksploitasi bersama ledakan dan darah namun justru menciptakan jalan bagi mereka untuk secara bertahap menumpuk rasa kesalnya. Kasar, kaku, canggung, dari lelucon menggunakan dirty joke dengan pengulangan yang tidak dapat klik dengan momentum, hingga dialog menggelikan dan sok keren bahkan terkadang sok pintar yang juga banyak gagal sehingga memaksa mereka beralih dengan memanfaatkan ekspresi karakter. Celakanya disini ia juga gagal.

Cerita yang kurang mumpuni juga berdampak pada kinerja para aktor. Tentu ada alasan mengapa miskinnya kualitas materi menjadi penyebab utama kegagalan Sabotage untuk menjadi sebuah guilty pleasure, contohnya Arnold Schwarzenegger yang di The Last Stand dapat tampil kokoh, dan Escape Plan mampu menjadi sosok yang menyenangkan. Disini ia tidak hidup, karakternya yang disepanjang cerita seperti bergerak tanpa tujuan sehingga menjadikan konklusi yang diberikan terasa mentah. Terus menerus dipaksa untuk mempertahankan warna gelap cerita dan karakter yang celakanya tidak layak untuk dinikmati, hal yang juga dialami aktor lainnya sehingga tidak terbangun chemistry yang mumpuni.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar