Jumat, 26 September 2014

THE BABADOOK : KOMBINASI HOROR MENGERIKAN DAN KEDUKAAN TERPENDAM




The Babadook adalah tokoh fiktif khayalan Jennifer Kent yang ia angkat dalam sebuah film pendek. Kent  dalam debut film layar lebar pertamanya berhasil dengan cerdas memanjangkan film pendeknya yang berjudul “Monster”, menggabungkan dongeng klasik Big Bad Wolf, trauma masa lalu, tragedi menyakitkan dan duka mendalam dari sebuah kehilangan dalam sebuah kesatuan kuat.The Babadook sangat kentara kuat di narasi dan karakterisasinya.Judulnya yang terdengar aneh dan posternya yang unik seakan memancing analisa calon penonton untuk meremehkan The Babadook. Horor kecil produksi Australia ini diam-diam berhasil menyeruak sebagai salah satu tontonan yang paling menyeramkan tahun ini.

Premisnya mungkin sudah bolak-balik dipakai. Cerita tentang mahkluk-mahkluk gelap penunggu lemari baju dan kolong ranjang yang meneror anak-anak di malam hari, namun ada yang berbeda kali ini ketika sutradara serial televisi Murder Call, itu menyajikannya dalam balutan drama keluarga yang berduka.

Kent tidak serta merta langsung menghadirkan kengeriannya, sebaliknya dengan plot lambat ia terlebih dahulu mengajak penontonnya berkenalan dengan Amelia, janda cantik yang depresi . Amelia (Essie Davis), seorang single mother yang bersedih dalam kedukaan pasca kematian suami tercintanya enam tahun lalu dalam sebuah peristiwa kecelakaan lalu lintas. Peristiwa naas itu terjadi   saat hendak mengantarnya melahirkan  Samuel (Noah Wiseman). Samuel tumbuh menjadi bocah enam tahun yang punya gangguan prilaku. Setiap hari ia hanya membicarakan tentang monster-monster khayalan di dalam kamarnya, dan tingkah lakunya sering membahayakan. Secara tidak langsung apa yang terjadi pada Samuel juga menambah beban psikologis Amelia. .

Semuanya berawal dari bacaan sebelum tidur. Dan puncaknya adalah ketika ia membacakan Samuel sebuah buku anak-anak misterius berjudul Mister Babadook. Sejak saat itu kehidupan Amelia dan Samuel tidak sama lagi.Siapa sangka buku anak-anak bergambar bisa menjadi awal dari sebuah teror mengerikan.  Ada sebuah pondasi besar yang berhasil dibangun Kent ketika menggambarkan situasi pelik yang dihadapi Amelia. Imajinasi liar Samuel secara tidak langsung sudah membuat hidupnya yang sudah susah menjadi semakin susah, dan tentu saja Amelia tidak pernah percaya dengan segala perihal soal monster yang diributkan Samuel yang kerap kali menganggu tidurnya setiap malam. Lalu datanglah sebuah buku merah besar misterius di rak Samuel yang tanpa sengaja dibacakan Amelia untuk dongeng sebelum tidur. Ya, Amelia tahu bahwa bacaan berjudul Mister Babadook itu mengerikan, bahkan untuknya, maka ia memutuskan untuk membuangnya jauh-jauh, tetapi sayang semua sudah telat ketika Amelia sudah membacakan setiap lembarnya, si Babadook yang mengerikan sudah datang di depan pintu rumahnya.




The Badabook punya semua keasikan yang ditawarkan sebuah horor supranatural rumah hantu yang bagus. Settingnya yang menghadirkan sudut-sudut gelap rumah Amelia memberikan permainan bayangan yang meneror imajinasi liarmua. Mungkin ia tidak memiliki kualitas momen jump scare sedahysat koleganya macam The Conjuring atau Insidious, tetapi apa yang sudah dibuat Kent sejak awal sudah secara diam-diam membentuk kengerian tersendiri yang di benak penontonnya. Kengeriannya tidak hanya terpancar dari setnya yang creepy namun juga atmosfernya yang menghantui dan perfoma luar biasa dari dua pemeran utamanya, Davis dan si kecil Wiseman. Ya, hubungan ibu-anak adalah salah satu senjata utama The Badabook dalam menghadirkan emosi tersendiri. Teror psikologis dari jiwa-jiwa yang terluka bersanding manis dengan ancaman dari luar berupa kemunculan sosok tinggi gelap yang dengan cerdas dimunculkan oleh Kent. Penampilan Essie Davis pantas diberikan acungan jempol. Tidak mudah menampilkan sebuah karkater rumit yang terlihat begitu berjuang untuk terus mencintai putranya yang bermasalah namun di sisi lain masih mengajak penontonnya untuk tetap berpihak kepadanya sampai akhir.

Kombinasi mematikan antara kedukaan dan ketakutan yang digarap luar biasa oleh seorang sutradara debutan. Ya, The Badabook adalah horor terbaik sejauh ini di 2014. Sebuah modifikasi hebat horor rumah hantu dan dongeng klasik yang melebur sempurna dalam teror dan emosi mendalam.

Senin, 08 September 2014

THE PURGE: ANARCHY : SAAT HUKUM DIINJAK-INJAK DENDAM

Untuk yang pernah menonton film The Purge, rasanya tak asing dengan judul diatas. Ya, James DeMonaco masih menjadi penulis skenario, dan juga sutradara dibalik The Purge: Anarchy. Dan The Universal Pictures pun masih berdiri di belakang pembuatannya. Menyimak cuplikannya, tema The Purge: Anarchy juga tak akan jauh berbeda dengan pendahulunya. Tentu saja film ini dibuat karena kesuksesan yang pertama. Dengan biayaminimum hasilnya maksimum.

Diceritakan, dalam satu malam, setiap tahunnya, seluruh peraturan bernegara dihapus. Artinya, siapapun boleh melakukan tindakan kriminal apapun, termasuk membunuh dengan alasan apapun, bahkan untuk yang tanpa alasan sama sekali. Dalam The Purge, inti ceritanya ditumpukan pada keluarga James Sandin, sang kreator sistem keamanan dalam menghadapi event tahunan The Purge. Namun, karena alasan kemanusiaan yang dilakukan oleh sang anak, Charlie, sistem yang diakui sangat kuat itu berhasil dibobol oleh penjahat. Para penjahat itu rasis. Mereka mencari seseorang yang diselamatkan Charlie ke dalam rumah.

Pasca rumah keluarga Sandin berhasil dijebol, ternyata tetangga yang tadi siang begitu baik, berubah 180 derajat menjadi binatang buas. Mereka berupaya membunuh keluarga Sandin. Ya, klimaksnya begitu klasik. Film ditutup dengan adegan pemaafan dari Mary Sandin kepada tetangganya –meskipun tetangga itu sudah membunuh James Sandin. Pesan moral yang begitu klasik, dan sangat kuno bagi banyak orang. Ya, mungkin akhiran dan cerita horor yang berjalan secara sederhana itu mengakibatkan publik hanya memberi The Purge rating 5,5 di imdb.com. Lantas bagaimana dengan The Purge: Anarchy? 

The Purge: Anarchy sedikit lebih baik. Purge, alias Pembersihan, sudah terpublikasi dengan baik. Ya, terima kasih untuk sekuel yang pertama. Kali ini, ceritanya tidak lagi berbicara tentang sistem keamanan dalam rumah, namun lebihuas lagi.

Pada tanggal 21 Maret, tahun 2023, beberapa jam menjelang The Purge, seluruh jaringan televisi memberitakan tentang landasan pelaksanaan satu malam tanpa hukum tersebut. Namun disisi lain, kelompok anti-The Purge pun tak kalah bersuara. Mereka membajak jaringan yang dipakai untuk menginfokan tersebut. 


Pada mulanya, Eva Sanchez (Carmen Ejogo) dan Cali (Zoe Soul) terjebak di sebuah apartemen di mana para gangster menjeblo pintu mereka. Namun saat akan dieksekusi, datanglah Leo (Frank Gillo) menolong mereka. Leo merupakan anggota kepolisian yang kehilangan putranya tahun lalu oleh sesorang yang diduga berandalan. Leo terlatih dan mempersenjatai dirinya dalam The Purge malam ini untuk menuntut balas.

Pada saat yang bersamaan, sepasang kekasih pun terjebak di malam The Purge. Shane (Zach Gilford) dan Liz (Kiele Sanchez) , sepasang kekasih tersebut terjebak di tengah lalu lintas akibat sistem yang dimatikan ketika The Purge dimulai. Mereka berlarian menghindari para gangster yang begitu kejam membunuhi orang-orang di jalanan. Shane dan Liz akhirnya bertemu dengan Eva, Cali dan Leo saat tidak sengaja bersembunyi dibelakang jok mobil Leo. Mereka berlima pada akhirnya melewati malam pembersihan itu bersama-sama. Sayangnya, Shane tidak selamat.

Drama terjadi manakala Leo menemukan pembunuh anaknya, Warren Grass. Sempat terjadi cekcok antara Leo dengan Warren, namun tak diakhiri dengan pembunuhan. Namun saat Leo keluar rumah Warren, ia ditembak Big Daddy, pimpinan gangster yang selama ini mengejar mereka. Saat terluka parah, Leo justru ditolong oleh Warren. Big Daddy tewas di tangan Warren saat berupaya menghabisi Leo. Klimaksnya, sirine berbunyi tanda The Purge usai. Warren, Eva dan Cali melarikan Leo ke rumah sakit.


Kompleksitas dan logika cerita lebih baik membuat The Purge: Anarchy lebih disukai dibanding yang pertama. Buktinya, dari rating 5.5 menjadi 6.7 di IMDb.








James DeMonaco sepertinya telah belajar mengembangkan ide dari The Purge ini. Hanya saja ide cerita tentang kriminalitas hasil kebijakan pemerintah sebaiknya menyentuh keatas, bukan ke bawah.